So, kenapa kita tidak pakai skema kedua (ala produk obat-obatan)? Nanti dulu dong! Pertama, produk IT tidak punya bahan aktif yang bisa dijual ramai-ramai dengan merek yang berbeda. Dalam dunia software komersial, code is money, jadi jangan harap ada satu barispun kode sumber (source code) yang akan diumbar oleh perusahaan software komersial ke publik, apalagi ke perusahaan saingan :). Sebagai contoh kasus, walaupun sama-sama merupakan software pengolah grafis, CorelDraw, atau PhotoShop, atau FreeHand, akan sama-sama dikembangkan dari nol oleh pembuatnya masing-masing dengan cara yang berbeda pula (tampilan boleh mirip, fitur boleh sama, tapi prosesnya beda!).
Kedua, produk IT terus menerus mengalami pengembangan dan revisi secara sangat intensif. Kalau setiap versi dimintakan patennya, maka pada prakteknya, jangka waktu paten menjadi tidak terbatas. Kalau Microsoft mengajukan Paten untuk Windows 1.0 tahun 1985, maka patennya sekarang mungkin sudah tidak berlaku lagi, tapi dengan dikeluarkannya Windows XP maka paten diperbarui. Dengan asumsi Microsoft akan terus mengembangkan produk MS Windowsnya, maka konsekuensinya, hak paten untuk Windows jadi seolah-olah tidak memiliki batas waktu. Mau nggak bayar royalti? Pakai saja Windows 1.0. Ditanggung nggak ada tuntutan dari Microsoft! Tapi apa user mau menggunakan software yang sudah kadaluwarsa? Pilihan satu-satunya: tetap bayar royalti untuk menggunakan software yang paling baru. Take it or leave it! [or pirate it :D].
Kalau begitu jangan dipatenkan saja! Eh, ini bukannya main-main. Sementara pihak ada yang menentang keras segala bentuk paten untuk produk software komersial. Kelompok ini beranggapan bahawa software dapat dipandang sebagai serangkaian persamaan matematika yang kompleks, dan persamaan Matematika--sebagaimana ilmu-ilmu dasar lainnya--tidak bisa dimintakan patennya.
Masuk akal? Tidak juga. Dalam dunia pemrograman komputer, kita mengenal yang namanya algoritma, yaitu alur logika berpikir manusia yang ditransformasikan kedalam langkah-langkah yang kemudian digunakan sebagai dasar pengembangan sebuah software. Nah, algoritma ini tidak bisa dipatenkan, tapi kalau sudah diimplementasikan dalam bentuk software, maka softwarenya bisa dipatenkan.
Dengan demikian, kalau pemrograman komputer dianggap sebagai penerapan persamaan matematika (sebagai ilmu dasar), itu akan terbatas hingga ke level algoritma saja, sedangkan software engineering sudah dianggap sebagai ilmu terapan yang aplikasinya dapat dimintakan paten. Ambil contoh algoritma MP3 yang boleh-boleh saja dicomot oleh siapa saja untuk dikembangkan menjadi software MP3 Player. Softwarenya sendiri bisa dipatenkan tapi jangan harap bisa mematenkan algoritmanya! Bingung? Saya juga koq!
By
_Me_
No comments:
Post a Comment